Tren curhat ke AI (artificial intelligent) atau akal imitasi semakin ramai. Jang Hansol mengangkat cerita Kendra Hilty, seorang coach ADHD yang terjebak ilusi cinta akibat curhat berlebihan ke ChatGPT. Yuk, simak selengkapnya di sini!

Fenomena curhat ke AI belakangan ini makin ramai dibicarakan. Menurut jejak pendapat yang dihimpun Kumparan, sebanyak 27,14 persen orang di Indonesia mengaku pernah curhat kepada AI.
Nggak sedikit yang menjadikan AI sebagai teman virtual untuk berbagi cerita, meluapkan keluh kesah, bahkan berkonsultasi tentang kehidupan pribadi. Apakah kamu salah satunya, TeMantappu?
Nah, Jang Hansol atau Korea Reomit mengangkat topik ini di akun TikTok miliknya. Ia memulai dengan cerita seorang perempuan bernama Kendra Hilty, konten content creator yang merangkap sebagai ADHD mindset coach asal Amerika.
Awalnya, kisahnya terdengar biasa saja. Kendra hanya menggunakan ChatGPT sebagai tempat curhat. Namun, lama-kelamaan, kebiasaan ini justru membuat Kendra terjebak dalam narasi yang ia bangun sendiri di kepalanya.
Hansol menjelaskan dengan ringkas duduk perkara kasus ini hingga kelanjutannya. Yuk, simak selengkapnya di sini!
Table of Contents
Siapa Kendra Hilty?

Apakah TeMantappu familiar dengan nama satu ini?
Bagi yang belum tahu, Kendra Hilty cukup aktif di media sosial, terutama TikTok dan Instagram. Ia memiliki ribuan pengikut di Instagram dan puluhan ribu di TikTok.
Kendra kerap membuat konten seputar ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) karena dirinya juga seorang penyintas ADHD.
Selain itu, saban Selasa, Kendra rutin mengadakan live session di Instagram untuk membicarakan topik seputar ADHD, meditasi, hingga self-healing.
Sekilas, Kendra terlihat sebagai sosok inspiratif.
“Mungkin, kita pernah mendengar istilah kalau dokter juga butuh dokter. Sama halnya dengan Kendra,” jelas Hansol dalam videonya.
Kendra pun sesekali membutuhkan ruang untuk meluapkan isi hatinya. Ia memilih untuk curhat kepada … ChatGPT.
Baca Juga: Rekomendasi “Detektif Reomit” yang Bahas Kriminalitas Remaja di Korea
Kendra Hilty dan Henry
Kendra bahkan memberi panggilan khusus kepada ChatGPT, yaitu Henry.
Setiap kali merasa nggak nyaman, Kendra akan langsung menuliskan isi hatinya kepada Henry.
Namun, Kendra nggak pernah memberikan instruksi yang jelas kepada AI. Misalnya “Tolong, jangan terlalu sering memvalidasi perasaanku.”
Sebab, secara default, ChatGPT memang cenderung memberikan jawaban reassurance atau validasi palsu yang meninabobokan kita, seperti “wajar kamu merasa begitu” atau “perasaanmu valid dan penting.”
Akibatnya, hampir setiap curhatan Kendra selalu dibalas dengan kalimat menenangkan dan menguatkan, tanpa ada penyeimbang atau perspektif lain.
Suatu kali, ChatGPT menyarankan agar Kendra berkonsultasi dengan psikiater profesional.
Namun, karena Kendra nggak punya cukup waktu luang, ia pun memilih konsultasi secara daring (online).
Dari sinilah masalah baru mulai muncul.
Ketika Validasi ChatGPT Menjadi Keyakinan
Selepas sesi konsultasi pertama dengan psikiater, Kendra langsung curhat ke Henry kalau ia merasa psikiater tersebut menaruh hati padanya.
Ia beralasan kalau sang psikiater menatapnya dalam, memuji penampilannya, dan memberinya waktu ekstra saat konsultasi.
ChatGPT alias Henry menjawab dengan cukup netral sebenarnya: bisa saja itu hanya sikap profesional, tetapi ada pula kemungkinan psikiater tersebut memang tertarik.
Masalahnya, Kendra langsung mengambil jawaban kedua sebagai kebenaran. Ia semakin yakin jika psikiater itu memang menyukainya.
Apalagi, Henry kembali memvalidasi perasaan serupa di percakapan selanjutnya.
Dari Konsultasi Online ke Offline
Tiga tahun kemudian, keyakinan itu makin mengakar di pikiran Kendra. Ia kemudian memutuskan pindah dari sesi daring ke pertemuan langsung.
Di salah satu sesi, kala Kendra merasa bersedih hati, ia tiba-tiba memeluk sang psikiater.
Si psikiater, tentu saja, membalas dengan pelukan suportif, sebuah gestur normal dalam konteks terapi. Akan tetapi, bagi Kendra, ini adalah bukti tambahan jika perasaan cintanya dibalas.
Akhirnya, Kendra memberanikan diri menyatakan cinta. Ia juga menjelaskan kepada sang psikiater kalau dirinya tahu ia itu juga menyukainya. Namun, psikiater itu diam saja, tak memberi jawaban.
Bagi Kendra, diamnya psikiater adalah bentuk penolakan kejam. Ia merasa ditipu dan dipermainkan usai bertahun-tahun memberi harapan rasa cinta.
Baca Juga: Kuatnya Budaya Cancel Culture Public Figure di Korea
Penolakan Berbuah Dendam
Sejak saat itu, Kendra mulai menaruh dendam dan membuat konten di TikTok tentang sang psikiater. Ia menuduhnya sebagai predator.
Kendra membuat konten dan memelintir berbagai kejadian untuk menguatkan keyakinannya, seperti:
- Psikiater pernah tetap hadir sesi konsultasi kendati mengalami kecelakaan parah. Menurut Kendra, itu tanda cinta.
- Psikiater nggak langsung mengalihkan topik saat ia membicarakan hal seksual. Menurut Kendra, itu bukti adanya hasrat.
- Psikiater menunjukkan ekspresi nggak nyaman ketika ia bercerita soal mimpi intim. Menurut Kendra, itu bukan jijik, tetapi karena ia merasa sang psikiater pernah berimajinasi tentangnya.
Kendra bahkan sempat berencana pindah agama ke Islam hanya karena psikiaternya seorang Muslim. Semua bukti yang ia kumpulkan sejatinya hanyalah tafsir personal yang terdistorsi.
Hansol menjelaskan kalau hingga sekarang, Kendra masih rutin mengunggah video soal psikiater tersebut kendati kolom komentarnya ditutup.
Hansol lewat kontennya secara tak langsung mengingatkan kalau AI bukanlah pengganti konselor, teman dekat, apalagi pasangan.
Memang, AI dapat memberi validasi, tetapi terlalu sering mencari pengakuan dari sebuah mesin bisa membuat kita terjebak dalam ilusi emosional.
Kalau Bolo-Bolo (sebutan untuk penonton setia konten Jang Hansol) penasaran dengan pembahasan ini, bisa langsung cek konten Hansol di TikTok, ya!
Tonton konten Jang Hansol di sini!
Siapa tahu, TeMantappu juga menjadi lebih waspada dalam menggunakan AI untuk kebutuhan pribadi!