Get In Touch
Menara Caraka, Lantai 12, Jl. Mega Kuningan Barat, Blok E4 7 No. 1, Kawasan Mega
Kuningan, Jakarta 12950
Work Inquiries
partnership@mantappu.com
(+62) 818 0401 3060

Kenapa Rumah di Korea Mahal? Jang Hansol Ungkap Realitanya!

July 12, 2025

by Fahma Ainurrizka

Kenapa anak muda Korea banyak yang stres dan enggan bekerja? Jang Hansol ungkap alasan utamanya: harga rumah di Seoul makin nggak masuk akal. Ternyata, Indonesia juga alami hal serupa. Simak perhitungannya di sini!

Cuplikan video TikTok Jang Hansol tentang mahalnya rumah di Korea | Sumber: YouTube/koreareomit 

Kalau kamu sering menonton Korea Reomit, pasti tahu kalau Jang Hansol kerap membahas realita hidup di Korea. 

Di salah satu video anyarnya, Kenapa Banyak Anak Muda Korea Depresi dan Nggak Mau Kerja?, Hansol membahas harga rumah di Seoul yang makin melangit.

Data dari KB Kookmin Bank menunjukkan harga median rumah di Seoul tahun 2024 tembus 1,15 miliar won (sekitar Rp13,5 miliar). Sementara itu, rata-rata gaji tahunan warga Korea adalah 43 juta won (sekitar Rp517 juta). 

Artinya, butuh lebih dari 26 tahun untuk menabung full, tanpa adanya pengeluaran sehari-hari, untuk dapat membeli rumah. 

Nggak heran kalau banyak anak muda Korea merasa stres dan kehilangan semangat kerja.

Masalah serupa juga terjadi di Indonesia. Harga rumah di Jakarta rata-rata mencapai Rp1,1 miliar. Sementara itu, UMR Jakarta 2025 sekitar Rp5 juta per bulan. 

Wajar kalau sekarang ini banyak pemberitaan “gen z susah beli rumah”. Apalagi, kalau mereka juga menjadi generasi sandwich. Beban makin double!

Penasaran dengan fenomena housing crisis ini? Yuk, simak pembahasan selengkapnya di artikel ini!

Mahalnya Harga Rumah di Seoul

Hansol menjelaskan butuh sekitar 23 tahun untuk dapat membeli rumah di Seoul | Sumber: YouTube/koreareomit

Hansol membeberkan kalau untuk bisa “sukses” di Korea, kuncinya satu: tinggal di Seoul. 

Kenapa? Sebab, semua kantor besar, perusahaan ternama, dan lapangan kerja dengan gaji layak adanya di sana. 

Nah, persoalannya adalah harga rumah di Seoul luar biasa mahal.

“Kenapa banyak banget anak muda di Korea yang depresi dan bahkan nggak mau kerja? Langsung tak kasih tahu. 

Untuk memahami situasi ini, satu hal yang perlu kita tahu adalah semua kerjaan yang bagus atau (kerja) kantoran yang gajinya agak tinggi biasanya ada di Seoul. 

Masalahnya, untuk tinggal di Seoul kita butuh rumah. Nah, harga median, bukan rata-rata, ya, itu sekitar 1 miliar won (Rp11 miliar). 

Sedangkan rata-rata pendapatan orang Korea itu 3.2 juta won (Rp38  juta) alias tahunannya 43 juta won (Rp500 juta) per tahun,” jelas Hansol dalam videonya.

Kalau dihitung-hitung, dengan nominal gaji di atas (tanpa digunakan untuk kebutuhan hidup sehari-hari sekalipun) butuh 23 tahun untuk dapat membeli satu unit apartemen.

Tapi ‘Kan Ada yang Gajinya Tinggi?

Mungkin ada yang berpikir, “Ya, masa’, sih, semua orang gajinya segitu, pasti ada, dong, yang lebih tinggi.” 

Nah, betul. Misalnya, orang dengan gaji 100 juta won (Rp1 miliar) per tahun

Hansol menjelaskan kalau “Itu pun (orang dengan gaji 100 juta won per tahun) sudah termasuk 7% penghasilan tertinggi di Korea,” jelasnya. 

Orang dengan gaji 100 juta won per tahun, setelah dipotong pajak, membawa pulang sekitar 6,5 juta won (Rp77 juta) per bulan

Kita anggap orang tersebut  super hemat dan hanya menghabiskan 2,5 juta won (Rp29  juta)  per bulan untuk hidup sehari-hari. 

Itu berarti ia bisa menabung 4 juta won (Rp47 juta) per bulan atau 48 juta won (Rp500 juta) per tahun.

Kalau ia ingin membeli rumah seharga 1,5 miliar won atau sekitar Rp17 miliar (karena orang berpenghasilan tinggi tentunya mengincar rumah lebih bagus, dong?) kira-kira berapa tahun waktu yang dibutuhkan, ya?

1,5 miliar dibagi 48 juta = 31 tahun

Iya, tiga dekade!

Harga Rumah yang Terus Melejit Naik

Hansol menjelaskan skema harga rumah dengan inflasi  3 persen | Sumber: YouTube/koreareomit

Masalahnya bukan hanya lamanya waktu untuk menabung, tetapi harga rumah juga akan terus naik karena inflasi. 

Hansol membeberkan simulasi inflasi rumah sebesar 3% per tahun, yang artinya rumah seharga 1,5 miliar won bakal naik sebesar 45 juta won setiap tahun.

Sementara itu, tabungan orang Korea per tahun adalah 48 juta won. Artinya, tabungannya “kejar-kejaran” dengan kenaikan harga rumah. 

Praktis, mereka nggak pernah bisa benar-benar “mengejar”.

Jadi, sekalipun orang itu termasuk kalangan elite secara pendapatan, nyatanya masih susah untuk dapat membeli rumah. 

Apalagi, yang gajinya lebih kecil. Jadi wajar kalau anak muda di Korea merasa kehilangan harapan.

Simulasi Menabung vs Inflasi

Hansol pun membeberkan skema simulasi harga rumah naik 3% per tahun dan tabungan tetap 48 juta won per tahun sebagai berikut:

TahunHarga Rumah (won)Total TabunganSisa yang Harus Dibayar
11,500,000,00048,000,0001,452,000,000
21,545,000,00096,000,0001,449,000,000
31,591,350,000144,000,0001,447,350,000

Sebagaimana yang dapat TeMantappu lihat pada tabel di atas, meskipun terus menabung, harga rumah juga terus naik. 

Sisa cicilan nggak berkurang banyak karena inflasi tetap membabat besaran nominal tabungan. 

Ini membuat banyak orang Korea merasa frustasi dan mulai mempertanyakan: untuk apa kerja keras kalau ujung-ujungnya tetap nggak bisa membeli rumah?

Jadi, Apa Solusinya?

Jelas, ini membuat anak muda Korea kelabakan. Sebab, masa depan terasa suram. 

Kalau membeli rumah saja butuh 30 tahun dan itu pun belum tentu terbeli karena harga rumah yang terus naik, lantas bagaimana bisa memikirkan rencana nikah, memiliki anak, atau hidup nyaman?

Sebab itu, banyak orang Korea akhirnya tinggal di rumah sempit, menyewa kontrakan, atau hidup jauh dari pusat kota dan mesti komuter berjam-jam setiap hari.

Hansol sendiri nggak langsung ngasih solusi pasti. Sebab, ini adalah masalah sistemik.

Akan tetapi, dengan terbuka ia mengajak kita untuk memahami kalau nggak semua orang Korea hidupnya enak dan ideal. Pun, nggak semua orang yang tinggal di Seoul berarti tajir. 

Banyak anak muda Korea yang harus berjuang untuk sekadar punya tempat tinggal yang layak.

Nggak Cuma di Korea, Indonesia Juga Krisis

Masalah ini nggak terjadi di Korea saja. Indonesia juga mengalami krisis yang mirip. 

Kita sering mendengar istilah “housing crisis” atau krisis perumahan. Maksudnya, harga rumah naik terus, tetapi gaji atau pendapatan masyarakat naiknya jauh lebih lambat.

Misalnya saja:

  • Harga rumah di Jakarta sekarang rata-rata udah Rp1–2 miliar.
  • Gaji UMR Jakarta 2025 sekitar Rp5 juta per bulan atau Rp60 juta per tahun.

Kalau kamu menabung 100% dari gaji pun:

1 miliar ÷ 60 juta = ±16–17 tahun

Akan tetapi, siapa, sih, yang bisa menabung 100% dari gajinya? Belum membayar makan, bayar kos, transport, internet, dan banyak kebutuhan hidup lainnya. 

Misalnya, kamu memutuskan menabung 30% gaji (sekitar Rp1,5 juta per bulan atau Rp18 juta per tahun), maka:

1 miliar ÷ 18 juta = ±55 tahun

Terbayang bukan susahnya anak muda di Indonesia untuk memiliki rumah sendiri, apalagi di kota besar, seperti Jakarta, Bandung, atau Surabaya? 

Makanya, sekarang makin banyak anak muda yang:

  • Pilih ngekos atau sewa
  • Nunda nikah karena belum memiliki tempat tinggal
  • Atau  berpikir, “Udah kerja keras banting tulang sekali pun, tetap susah punya rumah.”

Tertarik dengan Isu Semacam Ini? Ikuti Media Sosial Jang Hansol!

Cerita Hansol soal mahalnya harga rumah di Korea menjadi pengingat kalau tekanan hidup bisa membuat generasi muda kehilangan semangat, bahkan untuk sekadar bermimpi. 

Termasuk di Korea, negara yang sering dianggap “ideal” dari luar. 

Kalau kamu suka insight yang membuka mata kayak gini, jangan lupa follow Jang Hansol (Korea Reomit) di Instagram, TikTok, dan subscribe pula akun YouTube-nya. 

Yuk, terus ikuti realita hidup dari sudut pandang Jang Hansol!

Recent Posts